Postingan

Teruntuk Anakku

     Dedek, sekarang di tanggal 25 Januari 2023, bulan kelahiran Ibuk, dedek sudah berumur 29 minggu di dalam kandungan Ibuk.  Ibuk pengen ceritain semua hal yang ibuk alami dari dedek umur sebulan, dua bulan sampai sekarang. Cuma waktunya gak akan cukup.       Ibuk mau cerita tentang hari ini aja dulu yaa. Semalaman ibuk gak bisa tidur, asma ibuk kambuh. Dari kemarin kemarin juga sering kambuh pas malam, cuma paginya pasti reda. Malam ini enggak, sesak dari jam 2 pagi pas bapak dedek baru pulang acara NU di Sengeti sampai jam 5 Subuh baru Ibuk minum obat.        Ini pun penuh pertimbangan, mengingat keselamatan dedek. Tapi Ibuk selalu bilang "dedek harus sehat di dalam, meskipun ibuk di luar sakit, bantu ibuk yaa". Ibuk yakin dedek akan baik baik saja dan sehat. Akhirmya sesaknya reda, cuma tetap aja Ibuk gak bisa langsung tidur. Ibuk harus nyiapin sarapan buat bapak.         Semalaman, ibuk berjuang sendiri. Ibuk gak mau juga bangunin bapak dedek yang baru pulang, baru tidu

Memory

        Aku dengan segala kekuranganku, menyeruak tiap kali ada waktu. Mengingatkanku, bahwa aku hanya manusia biasa, kecil, bersalah, dan jauh dari kata baik. Setiap kali aku berbangga, hanya dengan setitik pencapaian yang bukan apa apa, lagi lagi kenangan itu muncul dalam kepala. Kembali menciutkan nyaliku. Membangunkan minderku, yang akhirnya hanya tangis yang berani memecahnya.       Sore tadi, sepulang liqok (belajar rutin mingguan) bersama saudara seperjuangan, aku menyempatkan diri untuk pergi memenuhi undangan khitanan anak dari salah satu rekan senior di tempatku bekerja. Awalnya aku hendak pulang karena hari sudah senja, mengingat rumah jauh dan kondisi kesehatan yang sensitif. Karena kak Pepi, Yunia, dan Lia nggak ada yang pergi juga. Fyi mereka adalah rekan terdekatku di tempat bekerja. Entah kenapa, kusempatkan sebentar karena ajakan seorang kakak bernama kak Nila.      Biasa saja memang, pergi dengan rombongan lainnya juga. Beriringan naik motor. Sesampainya di sana, kami
         Ara berjalan gontai menuju pintu tempat ia masuk dengan kekhawatiran memuncak tadi. Ia hanya terus berjalan mengikuti langkah kaki. Tak ada lagi hasrat untuk merebahkan tubuh lelahnya yang sudah seharian beraktifitas. Hanya memikirkan bagaimana adiknya yang ketakutan tadi membuat gores penyesalan di hatinya lebih terlihat. Selain itu, melihat ibu lebih memedulikan Ana membuat perih ditangannya tadi lebih terasa. Selama berjalan lebih dari 2 kilometer, ia akhirnya mengistirahatkan tubuhnya di salah satu toko buku di persimpangan jalan. Ternyata seseorang sudah mengikutinya sejak tadi, melihat Ara yang masih hanyut dalam lamunannya, pria itu meletakkan barang-barang Ara yang ia tinggal di gedung pertunjukkan seni tadi. Tas samping berwarna biru tosca, earphone, dan buku berjudul Ayah diletakkannya begitu saja di atas meja dekat Ara duduk. Tanpa pamit ataupun menunggu hingga Ara menyadari kehadirannya, ia berlalu meninggalkan Ara yang hampir menangis. "Heeee, heeee...&qu

Kutunggu Kamu di Tempat Biasa

Page 1 Ara menunggunya lagi, tepat di persimpangan ini. Persimpangan monumen literasi jalan Kemerdekaan nomor 19. Di depannya berderet toko-toko buku usang. Tidak hanya usang saja, yang baru juga banyak. Buku apa saja bisa kau temukan di sini. Jika stok tidak ada atau habis, kau bisa memesannya lagi. Soal harga tidak bisa nego, tapi kualitas dan nilainya tidak kalah dengan deretan buku di toko besar. Jalanan tidak begitu ramai, hanya beberapa motor dan kendaraan pribadi lain yang melaju santai. Jalur alternatif menuju taman kota, makanya tidak banyak kendaraan umum yang melintas. Hanya orang-orang yang suka ketenangan dan candu dengan buku saja yang akan singgah. Menikmati aroma, atau menelan satu persatu aksara dalam lautan buku.  Makanya, janji Ara dan Tirta selalu di tempat yang sama. Tempat pertama mereka bertatap mata. Menemukan diri masing-masing dalam keadaan ingin tahu. Jatuh pada pertanyaan masing-masing yang saat ini masih mereka cari jawabnya. Ara dari Timur dan Tirta

Surat Cinta ke 2

      Apa kabar? Aku belum sempat menanyakannya ketika di awal berjumpa.  Aku baik-baik saja, seperti yang kau tahu, bahkan lebih baik dari tahun lalu. Apa yang bisa kulakukan sebagai manusia selain syukur, bahkan ketika bertemu denganmu aku lebih bahagia. Tak pernah aku sebahagia ini, meskipun tidak bisa bersama dengan bapak seperti perjumpaan kita tiap tahunnya.      Dari hari pertama bertemu bahkan jauh sebelum itu aku sudah yakin, jika aku akan lebih jatuh cinta padamu.  Bagaimana kau bisa seindah ini, sebaik ini, senyaman ini, menentramkan hati di setiap lantunan waktu. Tak ingin sedetikpun hariku teralihkan oleh hal lain. Hanya dengan menghirup aroma subuh yang kau bawa setelah mengakhiri sahur, hatiku damai.    Berlama lama denganmu adalah yang paling menggembirakan, bersama-sama mengingat rakaat tarawih sambil murajaah surah. Jika salah atau lupa, akan kuulang lagi dari awal. Hingga berjam-jam aku hanya mengulang di surah yang sama. Bersama menyiapkan list hal baik selama 1 bul

Semakin Dekat

Ramadhan sudah di awal perjalanan. Covid 19 sudah setengah perjalanan. Dulu terasa jauh sekali, hingga berpikir bahwa tidak mungkin ia akan berjalan menempuh selat dan samudera untuk sampai ke negeri panas ini. Hah.. Dalam hitungan bulan, dia sudah berada di negeri tetangga. "Tak akan sampai sini" Masih dengan pikiran santai. Lalu ke Jakarta, masuk ke provinsi dan sampai ke kabupatenku. Rasanya masih sangat jauh, karena PDP masih belum terjangkau oleh mata. Kini sudah dalam satu wilayah, bisa kujangkau sendiri dengan kendaraan roda dua. Semakin dekat semakin dekat. Tinggal menunggu saja ia dapat kujangkau dengan hitungan langkah kaki, tunggu saja hingga ia berada di sebelah rumahku. Semakin dekat semakin dekat. Seperti kematian yang sudah dapat diprediksi. Jika saja Allah menampakkan ajal sedemikian nyata, mungkin tingkat kewaspadaan kita akan jauh lebih tinggi. Bisa dibilang begitu, karena covid 19 bukan sesuatu yang dapat kita tolak sekenanya. Buk

Dari anak bapak

Aku baru pulang pak, dari senang senang tadi sore. Bersama teman teman satu angkatan, dalam suasana ramadhan. Aku bahagia pak, walaupun hanya beberapa jam bersama mereka. Seperti bebanku jatuh entah kemana, bahkan sedih kemarin pun aku lupa menaruhnya dimana. Serasa sudah hilang saja dia. Aku juga membawa kegembiraan itu sesudahnya, sesi foto yg membahagiakan, canda tawa yang terlontar, perhatian mereka padaku, juga ketika mereka menyebut namaku. Aku merasa dibutuhkan di sana, aku melengkapi kebahagiaan di sana, hingga tak ingin rasanya beranjak. Namun waktu mengalahkanku, aku harus pergi meninggalkan mereka dan semua kenangan indah hingga malam itu. Tapi tahukah bapak, aku ternyata dikhianati. Aku hanya pajangan yang tak perlu di waktu tertentu, namun sangat dibutuhkan ketika ada tamu yang singgah. Memerlukan pengalih sepi saat ruangan kosong, saat pemilik rumah sedang mengerjakan hal lain, cukuplah untuk menghiasi pandang tanpa bising. Aku menangis setelah sampai di rumah pak